Beranda | Artikel
Hakikat dan Buah Ilmu
Rabu, 18 Januari 2017

Bismillah.

Ilmu adalah bekal untuk meraih keridhaan Allah. Seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama salaf, bahwa sesungguhnya ilmu lebih diutamakan dibandingkan amal-amal yang lain disebabkan ia merupakan sebab dan sarana untuk bertakwa kepada Allah.

Dengan demikian, ketika ilmu adalah bagian dari ibadah maka jelaslah bagi kita bahwa ilmu agama ini tercakup dalam perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Akan tetapi sejatinya ilmu itu ada dua macam -sebagaimana dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah– yaitu ilmu yang bersemayam di dalam hati dan ilmu yang hanya berhenti di lisan. Ilmu yang bermanfaat ialah ilmu yang telah tertancap di hati, sementara ilmu yang berhenti di lisan adalah ilmu yang justru menjadi bumerang bagi pemiliknya dan bukti yang akan menjatuhkannya kelak di akhirat.

Dari sinilah kita mengetahui bahwa ilmu yang bermanfaat itu bukan sekedar pengetahuan dan wawasan yang dimiliki seorang insan. Sebab bisa jadi orang kafir dan munafik pun memiliki ilmu semacam itu. Seperti contohnya adalah kaum Orientalis dan para pemikir barat yang mengkaji khazanah dunia Islam tetapi mereka tidak beriman kepadanya. Bisa jadi mereka cerdas secara intelektual dan pintar secara akademis, tetapi ilmu yang mereka punyai tidak membawa mereka tunduk kepada wahyu Allah dan syari’at-Nya. Maka, ilmu semacam itu bukanlah ilmu yang bermanfaat. Sebabnya adalah ilmu itu tidak bersemayam di hatinya. Artinya ilmu itu tidak membuahkan rasa takut kepada Allah dan ketundukan kepada-Nya.

Berbeda dengan kaum beriman -serendah apapun IQ mereka dan seminim apapun wawasan mereka dalam hal agama- maka mereka jauh lebih mulia dan lebih utama di hadapan Allah disebabkan ketakwaan dan iman serta rasa takut yang ada di dalam hatinya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah merasa takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan kepada Rabbnya semata mereka bertawakal.” (al-Anfal : 2-4)

Oleh sebab itu nilai ilmu dalam timbangan agama bukanlah diukur dengan banyaknya hafalan dan riwayat yang bisa disebutkan oleh seorang insan. Karena orang kafir pun bisa menghafal dan meriwayatkan perkataan dan nasihat. Akan tetapi hakikat ilmu dan standar pemahaman itu dilihat pada kadar rasa takutnya kepada Allah. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu adalah rasa takut.”

Dari situlah kita bisa memahami maksud dari perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang yang berilmu selalu berada dalam kebodohan apabila dia tidak beramal dengan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkan ilmunya barulah dia menjadi orang yang ‘alim.”

Inilah yang dimaksud oleh firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir : 28). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata menyimpulkan maksud ayat tersebut, “Semua orang yang benar-benar takut kepada Allah maka dia adalah orang yang ‘alim/berilmu.”

Para ulama juga menjelaskan, bahwa barangsiapa yang semakin mengenal Allah niscaya semakin besar rasa takutnya kepada Allah. Rasa takut inilah yang membuahkan ketakwaan dan ibadah kepada-Nya. Oleh sebab itu rasa takut adalah salah satu pilar ibadah hati. Orang yang takut akan keadaan dirinya ketika kelak berada di hadapan Rabbnya lalu menahan dirinya dari segala keinginan nafsunya -yang terlarang- maka Allah sediakan surga baginya.

Oleh sebab itu ilmu yang benar dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diiringi dengan amalan. Orang yang berilmu sementara dia tidak mengamalkan ilmunya adalah jalan orang-orang yang dimurkai oleh Allah yaitu kaum Yahudi dan orang-orang yang serupa dengan mereka. Adapun beramal tanpa ilmu adalah kesesatan ala kaum Nasrani dan orang-orang yang seperti mereka. Jalan yang benar adalah yang memadukan antara ilmu dengan amal, inilah jalan yang lurus yang akan mengantarkan penempuhnya menuju kenikmatan surga dan ampunan dari Rabbnya.

Karena itu sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang rusak diantara para ulama kita maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara para ahli ibadah kita maka pada dirinya ada keserupaan dengan Nasrani.”

Sebagian ulama salaf pun menegaskan, bahwa hakikat orang yang berilmu itu adalah yang merasa takut kepada Allah. Suatu ketika ada seorang perempuan berkata kepada asy-Sya’bi rahimahullah, “Wahai orang yang ‘alim, berikanlah fatwa kepadaku.” beliau pun menjawab, “Aku bukanlah orang yang ‘alim. Orang yang ‘alim itu adalah yang takut kepada Allah.”

Apabila demikian hakikat dan buah dari ilmu itu; yaitu ilmu yang bersemayam di dalam hati dan membuahkan rasa takut kepada Allah dan amal salih, maka sesungguhnya ilmu para sahabat nabi radhiyallahu’anhum adalah ilmu yang sebenarnya karena mereka telah membuktikan ketakwaannya dan rasa takutnya kepada Allah, bahkan Allah telah memuji mereka dan meridhai mereka serta menjadikan mereka teladan bagi generasi setelahnya.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu dalam sebuah atsar/riwayat yang lain mensifati para sahabat sebagai orang-orang yang paling dalam ilmunya dan paling bersih hatinya. Hati adalah bejana bagi ilmu. Sehingga ilmu yang bermanfaat itu bersemayam di dalam hati dan membuahkan ketakwaan kepada Allah. Karena itulah dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Bahwa hakikat ketakwaan itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan dengan anggota badan.”

Ilmu yang semacam itu hanya akan bisa diperoleh dengan merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah serta pemahaman para sahabat. Oleh sebab itu dikatakan oleh para ulama, bahwa hakikat ilmu itu adalah firman Allah, sabda Rasul, dan ucapan para sahabat. Inilah sumber ilmu yang bermanfaat. Sehingga dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa ilmu itu adalah mengenali petunjuk dengan dalilnya. Dan kunci untuk meraih ilmu itu adalah dengan men-tadabburi al-Qur’an.

Para sahabat dahulu tidaklah melewati sepuluh ayat atau sekitar itu -ketika membaca/menghafalkannya- kecuali setelah mereka memahami ilmu dan amal serta hukum yang terkandung di dalamnya. Mereka mempelajari ilmu, amal, dan iman secara bersamaan. Ilmu yang mereka peroleh adalah ilmu yang membasahi hati mereka dan meresap ke dalam relung hatinya.

Sehingga ilmu itu merasuk ke dalam jiwa seiring perjalanan siang dan malam. Seperti yang dikatakan oleh az-Zuhri rahimahullah, “Sesungguhnya ilmu itu dituntut seiring dengan perjalanan siang dan malam.” Dan seperti yang dijelaskan oleh Yahya bin Abi Katsir rahimahullah, “Tidak akan diperoleh/dikuasai ilmu itu dengan badan yang selalu bersantai-santai.” Inilah ilmu yang akan membekas di dalam hati dan membuahkan amalan.

Ilmu yang membuahkan sifat tawadhu’ dan ketakwaan. Ilmu yang mengikis kesombongan dan keangkuhan. Ilmu yang menepis fitnah syubhat dan syahwat. Ilmu yang membuahkan keyakinan dan kesabaran. Ilmu yang menghasilkan ittiba’ dan keikhlasan. Ilmu seperti inilah yang membuat generasi salaf menjadi mulia dan berjaya. Semoga Allah berikan kepada kita taufik kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang salih. Wallahul musta’aan.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/hakikat-dan-buah-ilmu/